TIMES MINAHASA, MALANG – Di tengah kemajuan teknologi, masyarakat kini lebih memilih membaca melalui handphone ketimbang buku. Kondisi ini membuat Pasar Buku Velodrome di Sawojajar Kota Malang tampak sepi pengunjung.
Sejak 2008, kawasan ini telah disulap dari lahan kosong tak berpenghuni menjadi deretan kios buku yang penuh kisah menarik.
Dahulu, kawasan ini hanya digunakan untuk pasar malam. Bahkan menurut siarpersma.id, daerah ini dikenal rawan penculikan karena kondisi jalan yang sepi, serta disalahgunakan sebagai arena balap liar.
“Tempat ini sudah berdiri sejak 2008. Pemerintah memfasilitasi pedagang buku yang dulunya berjualan di depan stasiun, sekarang jadi di sini,” ujar Mustaqin,s salah satu pedagang buku
Mustaqin adalah salah satu dari sekian pedagang yang mengalami langsung proses relokasi tersebut. Pria kelahiran Kebalen, Malang, ini telah berjualan buku sejak tahun 1988, tepat setelah ia lulus Sekolah Dasar.
Perjalanannya berawal dari kecintaannya pada membaca, ia sangat tertarik dengan buku cerita silat yang ditulis oleh Asmaraman S Kho Ping Hoo.
Meski tak seramai dulu, kios buku bekas ini masih menjadi surga tersembunyi bagi pencari referensi murah meriah (Foto: Hilmi Amirul Huda/TIMES indonesia)
“Saya paling suka itu cerita yang bernama Bukek Siansu, semua serinya ada 24. Kalau orang biasa mungkin satu minggu baru selesai, tapi waktu itu saya cuman butuh dua hari,” ucapnya.
Dinamika dan Tantangan
Mustaqin juga menyinggung dinamika pasar yang ia hadapi selama berjualan. Menurutnya eksistensi Pasar Buku Velodrome masih kalah dibandingkan Pasar Buku Wilis.
Kebanyakan pembeli ramai pada saat tahun ajaran baru. Pada periode ini wali murid berlomba mencari buku pelajaran untuk anak mereka.
Di luar periode itu, pengunjung datang hanya untuk mencari novel atau majalah lama. Terlebih lagi minimnya minat mahasiswa pada buku cetak, yang kini memilih bacaan digital, membuat pasar buku ini cenderung sepi peminat.
Tak hanya itu, pandemi COVID-19 juga menjadi tantangan besar bagi para pedagang buku. Selama hampir dua bulan tak satu pun pembeli yang datang ke kiosnya.
“Masa pandemi itu sangat berat buat kita, pedagang buku” ujarnya. Meskipun demikian ia tetap bertahan “Meskipun apa-apa serba sulit, tapi saya harus tetap jualan. Saya tekuni terus” lanjutnya.
Meski sempat terpinggirkan oleh zaman dan diterjang pandemi, Pasar Buku dan Seni Velodrome masih berdiri hingga kini. Setiap hari, mulai pukul tujuh pagi hingga empat sore, para pedagang membuka kios mereka.
Tidak ada papan promosi besar, tidak pula sorotan luas, hanya bermodalkan semangat dan tekat yang selalu mereka tekuni dari hari ke hari.
Pasar Buku Velodrome bukan sekedar tempat jual buku bekas. Kawasan ini menjadi bukti sebuah gudang ilmu yang tumbuh dari komunitas, dikelola secara mandiri oleh para pedagang, dengan dukungan lahan dari pemerintah. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pasar Buku Velodrome Malang, Menjaga Pijar Api Literasi di Tengah Tantangan
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Ronny Wicaksono |