TIMES MINAHASA, JAKARTA – Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kian merambah berbagai aspek kehidupan. Meski demikian, pengenalan AI pada anak usia dini bukanlah hal yang utama.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof Stella Christie, menekankan bahwa stimulasi berbasis sains dan interaksi berkualitas antara anak dan pengasuh jauh lebih penting untuk perkembangan optimal anak.
Hal itu disampaikan Stella dalam 2025 International Symposium on Early Childhood Education and Development (ECED) di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Menurutnya, pengasuhan yang kaya interaksi dan pengalaman nyata memiliki potensi terbesar dalam mengembangkan kemampuan berpikir anak.
“Sebagai peneliti yang mempelajari bagaimana manusia berpikir, saya menemukan bahwa interaksi optimal antara anak dan pengasuh adalah kunci untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak,” ujar Stella.
Dalam penelitian di laboratoriumnya di Tsinghua University, Beijing, Stella menemukan bahwa anak usia 2-3 tahun belajar melalui rasa ingin tahu, imitasi, serta kemampuan rasional dalam menilai lingkungan.
Eksperimen sederhana yang membandingkan pola gambar menunjukkan anak dapat berpikir kritis jika diberikan konteks yang tepat, bukan sekadar jawaban instan.
Stella menekankan, anak belajar dengan bertanya dan meniru, tetapi tidak sembarangan mengikuti.
Mereka menafsirkan informasi dengan rasional. Oleh karena itu, stimulasi melalui pertanyaan, pengalaman sehari-hari, dan teladan pengasuh jauh lebih bernilai daripada sekadar mengenalkan AI sejak dini.
“Teknologi, termasuk AI, tidak bisa menggantikan kekuatan interaksi manusia. Bahkan AI belajar dari stimulasi yang diberikan anak,” kata Stella.
Praktik sederhana bisa dimulai dari hal sehari-hari, misalnya mengajak anak menghitung lama waktu tidur atau mengaitkan makanan dengan konsep energi bagi tubuh, sehingga anak belajar memahami pola, struktur, dan hubungan sebab-akibat.
Selain itu, Stella mengingatkan orang tua untuk tidak menggantungkan perhatian anak pada gawai. Sebaliknya, memberikan anak kesempatan eksplorasi dengan benda nyata dan pengawasan yang hangat lebih efektif untuk mengembangkan kreativitas dan rasa ingin tahu.
Benny Lee, CEO Tanoto Foundation, menekankan pentingnya ekosistem mendukung pengembangan anak sejak dini, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat, akademisi, dan sektor filantropi. Menurutnya, investasi pada pengasuhan berkualitas di masa awal kehidupan akan berdampak sepanjang hayat.
“Fase awal kehidupan adalah titik kritis di mana fondasi kapasitas manusia dibentuk. Kolaborasi semua pihak akan menghasilkan dampak yang lebih besar dan berkelanjutan,” ujar Benny.
Stella Christie menegaskan, anak-anak memiliki potensi berpikir yang luar biasa. Fokus orang tua dan pengasuh sebaiknya membuka ruang bagi rasa ingin tahu, menstimulasi berpikir kritis, serta memberi pengalaman yang bermakna. Dengan demikian, manusia tidak hanya siap menghadapi teknologi, tetapi juga memiliki keunggulan unik yang tidak bisa digantikan AI. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Anak Usia Dini Lebih Butuh Interaksi Manusia daripada AI, Kata Stella Christie
| Pewarta | : Imadudin Muhammad |
| Editor | : Imadudin Muhammad |